![]() |
Guru Sekolah Nasional Plus Pelita Insani & Penulis Buku Kado Keluarga Bahagia, Aniq Farida |
AmbaritaNews.com | Kabupaten Bogor - Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya perubahan zaman, dakwah tidak lagi cukup hanya disampaikan melalui mimbar masjid atau podium pengajian. Hari ini, dakwah membutuhkan medium yang lebih luas, fleksibel, dan mampu menembus lintas batas geografis maupun generasi. Salah satu medium strategis itu adalah tulisan.
Menulis adalah bentuk dakwah yang tak mengenal ruang dan waktu. Melalui tulisan, gagasan mampu melampaui batas fisik, menyentuh hati pembaca di berbagai tempat, bahkan bertahan jauh lebih lama daripada usia penulisnya sendiri. Karena itu, penting bagi para santri—pewaris ilmu ulama sekaligus penjaga tradisi keilmuan Islam—untuk belajar menulis sebagai bekal dakwah masa depan.
Kesadaran inilah yang tengah ditumbuhkan oleh para santri Pondok Pesantren Rafah, Bogor, di bawah asuhan KH. Nasir Zein, MA. Melalui komunitas literasi Re-Magazine, mereka berinisiatif menyelenggarakan pelatihan menulis sebagai bagian dari gerakan dakwah literasi.
Pelatihan tersebut digelar pada Sabtu, 16 Agustus 2025, di ruang perpustakaan pondok. Hadir sebagai narasumber inspiratif, Dr. Muslih Taman—seorang penulis produktif yang telah menerbitkan lebih dari 10 buku dan ratusan artikel di berbagai media massa. Ia juga pernah menghadiri Pameran Buku Islam Internasional di Kairo, Mesir, sebanyak dua kali.
Di tengah padatnya aktivitas kepesantrenan, para santri anggota Re-Magazine mengikuti pelatihan dengan penuh antusias. Mereka tidak hanya belajar teknik menulis, tetapi juga menyerap nilai ketekunan dan semangat pantang menyerah di dunia literasi.
Dalam pesannya, Dr. Muslih menegaskan, “Jangan pernah berhenti menulis sebelum tulisan kalian menjadi buku atau dimuat di media. Jangan pernah menyerah untuk menjadi penulis.”
Kegiatan ini tidak berhenti pada aspek keterampilan, tetapi juga menjadi ruang pembentukan mental dan karakter santri sebagai da’i literer. Fadhilah, salah satu panitia, menyampaikan harapannya, “Semoga dari pelatihan ini lahir penulis-penulis hebat dari Pondok Pesantren Rafah, yang bisa membawa nama baik pesantren dan Islam melalui tulisan.”
Sementara itu, Mahyaya, salah seorang peserta, dengan mata berbinar menyampaikan cita-citanya, “Saya ingin belajar menjadi penulis novel seperti penulis Laskar Pelangi. Saya ingin karya saya dibaca banyak orang.”
Langkah kecil ini bisa menjadi pijakan besar dalam perjuangan dakwah berbasis literasi. Sebab dakwah tidak selalu harus lantang; kadang ia hadir lewat satu paragraf yang menyentuh, satu bab yang mencerahkan, atau satu buku yang menginspirasi perubahan.
Para santri hari ini bukan hanya pewaris kitab kuning, tetapi juga calon penulis masa depan yang siap menerangi zaman dengan pena dan makna. Maka, setiap upaya literasi di pesantren patut kita dukung—sebab menulis adalah jalan dakwah yang tak pernah lekang oleh waktu. [Red]