AmbaritaNews.com | Kabupaten Bekasi — Pemerhati kebijakan publik Abu Fitri Mu’min mendesak Pemerintah Kabupaten Bekasi segera mengevaluasi kepemimpinan Prananto Sukodjatmoko, yang telah menjabat sebagai Direktur Utama PT Bina Bangun Wibawa Mukti (BBWM) sejak tahun 2014. Menurutnya, kinerja perusahaan daerah ini jauh dari harapan dan tidak sebanding dengan besarnya modal yang disuntikkan oleh pemerintah daerah.
“BBWM yang dipimpin Prananto tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD Kabupaten Bekasi. Sudah lebih dari 10 tahun, tapi hasilnya minim,” ujar Fitri kepada wartawan, Jumat (31/10/2025).
Fitri mengungkapkan bahwa realisasi dividen BBWM tahun 2024 hanya Rp2,4 miliar, padahal total penyertaan modal dari APBD mencapai Rp178,5 miliar.
“Ironis, BUMD kabupaten dengan modal ratusan miliar hanya menyetor dividen dua miliar. Ada BUMDes yang jauh lebih kecil tapi bisa menghasilkan lebih. Ini menunjukkan ada masalah serius dalam tata kelola perusahaan,” sindirnya.
Data historis menunjukkan penurunan kinerja drastis sejak awal kepemimpinan Prananto. Tahun 2014 dividen BBWM tercatat mencapai Rp37 miliar, namun terus menyusut hingga hanya Rp1–2 miliar di tahun-tahun terakhir.
“Ini kegagalan manajerial yang nyata. BUMD seperti BBWM seharusnya menjadi penggerak ekonomi daerah, bukan beban keuangan daerah,” ujar Fitri.
Fitri menegaskan bahwa BBWM berbentuk Perseroan Daerah (Perseroda), bukan Perusahaan Umum Daerah (Perumda). Perbedaan ini penting karena Perseroda berorientasi profit, sedangkan Perumda lebih menekankan pelayanan publik.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, Pasal 61 ayat (1) menegaskan bahwa Direksi wajib mengelola BUMD secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan dan memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.
“Jika BBWM gagal memberi manfaat ekonomi, berarti direksi tidak menjalankan amanat undang-undang. Ini bisa menjadi dasar bagi kepala daerah untuk mengevaluasi atau mencopot direksi sesuai Pasal 75 ayat (1) PP 54/2017, yang memperbolehkan pemberhentian direksi jika tidak mencapai target kinerja atau melanggar ketentuan hukum,” papar Fitri.
Selain itu, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 331 ayat (1) menyebut bahwa BUMD dibentuk untuk memberikan manfaat ekonomi, pelayanan umum, dan kontribusi terhadap PAD. “Kalau yang terjadi justru kebalikannya, berarti pengelolaannya menyimpang dari mandat hukum,” tegasnya.
Tak hanya soal kinerja, Fitri juga menyoroti kejanggalan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Prananto Sukodjatmoko yang tercatat di situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Yang janggal, laporan LHKPN baru muncul sejak 2021, padahal Prananto sudah menjabat sejak 2014. Di mana laporan harta kekayaan periode 2014–2020? Ini harus diperiksa oleh KPK,” tegas Fitri.
Ia juga membeberkan bahwa nilai harta kekayaan Prananto justru meningkat di tengah menurunnya kinerja BBWM — dari Rp69,6 miliar (2021) menjadi Rp88,7 miliar (2023), dan Rp87,6 miliar (2024).
Lebih lanjut, Fitri menyoroti perubahan jabatan dalam LHKPN yang dinilai tidak konsisten.
“Di LHKPN 2021–2022, jabatannya tertulis Direktur Utama. Tapi di 2023–2024 berubah jadi Direktur Usaha, padahal dalam struktur BBWM tidak ada posisi itu. Ini bisa menimbulkan dugaan pelaporan tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,” ujarnya.
Jika ditemukan adanya unsur ketidaksesuaian atau manipulasi dalam pelaporan kekayaan, maka dapat dijerat dengan Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur sanksi terhadap penyelenggara negara yang tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya.
“KPK bisa masuk memeriksa indikasi gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang jika peningkatan harta tidak sejalan dengan kinerja perusahaan,” kata Fitri menegaskan.
Fitri mendesak Pemerintah Kabupaten Bekasi sebagai pemilik saham pengendali untuk melakukan audit forensik keuangan dan audit kinerja terhadap BBWM, termasuk pemeriksaan atas kewajaran pelaporan LHKPN direksi.
“BBWM bukan perusahaan pribadi. Uang yang disetor adalah uang rakyat. Kalau pengelolaannya tidak transparan dan tidak akuntabel, maka kepala daerah wajib mengambil langkah tegas,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah dapat menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 79 PP 54/2017 untuk memberhentikan direksi apabila terbukti melanggar prinsip tata kelola, tidak mencapai target kinerja, atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaan maupun daerah.
“Sudah saatnya Pemkab Bekasi berani bersih-bersih di tubuh BUMD. Jangan biarkan BBWM menjadi sarang kepentingan pribadi di atas nama bisnis daerah,” pungkas Fitri. [Diori Parulian Ambarita]

 
 
 
 
 
 
 
 
