![]() |
| Sefnat Momao |
Oleh: Sefnat Momao
AmbaritaNews.com | Papua - Seruan bahwa Orang Asli Papua (OAP) sedang berada dalam ancaman kepunahan sehingga perlu adanya regulasi tambahan yang protektif menjadi sangat peting untuk di perhatikan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terutama mengingat adanya kekhawatiran terhadap perubahan demografi yang signifikan.
Pemerintah Indonesia telah merespon permasalahan tersebut melalui berbagai Intrumen hukum seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Papua yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 dan termasuk landasan hukum perlindungan OAP seperti jaminan Kontitusi tentang eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang diakui oleh UUD 1945 – Pasal 18B ayat (2) tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
Dari beberapa regulasi yang telah disiapkan oleh Pemerintah Pusat, rakyat Papua menganggap belum efektif sehingga pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat Daya dan Pemerintah kabupaten/kota di desak untuk menyiapkan regulasi khusus seperti perdasi, perdasus dan peraturan daerah yang lebih fokus memproteksi keberadaan OAP dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ANCAMAN DAN ISU KERESAHAN OAP
Isu dan ancaman utama yang menimbulkan keresahan bagi Orang Asli Papua (OAP) bersifat kompleks dan saling terkait mencakup beberapa dimensi yang perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :
Pertama, Terjadinya perubahan demografi: dimana adanya dugaan kuat dari beberapa laporan resmi tentang hasil pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang jumlah penduduk Orang Asli Papua di beberapa daerah, dari data tersebut menunjukkan bahwa populasi Orang Asli Papua menurun secara Profesional bila di bandingkan dengan jumlah penduduk non OAP. Contoh kasud di kota sorong, dimana dari total jumlah penduduk kota sebanyak 287.252 Jiwa dengan rincian jumlah penduduk Orang Asli Papua sebanyak 77.487 jiwa dan penduduk non OAP sebanyak 209.765 jiwa. Dari data diatas dapat membuat keresahan para tokoh dan aktivitas di Tanah Papua.
Kedua, Ancaman budaya dan identitas: selain ancaman fisik, Eksistensi, Budaya dan Identitas Orang Asli Papua terancam oleh masuknya budaya luar dan kurang adanya pengakuan hak-hak adat secara efektif dari Pemerintah Pusat maupun daerah.
Ketiga , Pelanggaran HAM dan kekerasan : Orang Asli Papua menghadapi isu pelanggaran HAM yang serius dan berulang, termasuk kekerasan fisik dan impunitas bagi para pelaku. Pendekatan keamanan yang dominasi oleh aparat di beberapa wilayah seringkali meningkatkan ekskalasi komplek yang menyebabkan trauma di masyarakat.
Keempat , Marginalisasi Ekonomi dan Sosial : meskipun Papua kaya akan sumber daya alam, namun Orang Asli Papua sering kali terpinggirkan dari manfaat ekonomi pembangunan. Mereka menghadapi ketidaksetaraan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, serta partisipasi yang minim dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Kelima, Rasisme dan Diskriminasi : Isu rasisme dan diskriminasi, baik secara structural maupun kultural, masih di alami oleh Orang Asli Papua di beberapa tingkatan. Stigmatisasi dan tindakan rasial mereduksi posisi mereka sebagai insan manusia dan menjadi akar rantai kekerasan yang berulang.
Keenam, Pengungsian Internal : Konflik bersenjata yang berkepanjangan di beberapa daerah memaksa raturan ribu Orang Asli Papua mengungsi dari rumah mereka dan dapan mencipkatan maslah kemanusiaan baru terkait tempat, pangan dan keamana di lokasi pengungsian.
DESAKAN UNTUK REGULASI TAMBAHAN
Meskipun Pemerintah Pusat sudah menyiapkan regulasi khusus seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, itupun belum cukup sehingga para tokoh dan aktivitas Papua terus mendesak kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyiapkan regulasi khusus yang implementatif seperti perdasi, perdasus dan Peraturan Daerah yang lebih protektif.
Masyarakat Papua saat ini merindukan adanya regulasi khusus untuk menangani beberapa kebutuhan Prioritas seperti :
Pertama, Perlindungan populasi : dimana masyarakat Papua menginginkan adanya regulasi yang lebih ketat tentang kependudukan dan imigrasi untuk menjaga adanya keseimbangan demografi.
Kedua, Pengakuan hak ulayat : sangat penting sehingga perlu adanya regulasi yang menegaskan hak atas tanah adat untuk melindungi OAP dari Penggusuran akibat pembangunan fisik dan Investasi yang masuk ditanah papua.
Ketiga, Akses pelayanan dasar: pemerintah daerah dapat menyiapkan instrument hukum untuk mengatur tentang akses pendidikan dan kesehatan terhadap kualitas hidup Orang Asli Papua (OAP) yang adil dan sejahtera.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada poin penting yang ingin penulis tegaskan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat Daya dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah, tidak hanya mengandalkan regulasi yang sudah ada seperti Undang-Undang Otonomi Khusus, tetapi juga dapat merumuskan aturan khusus untuk menjamin keberlanjutan eksistensi Orang Asli Papua baik secara demografi maupun kultural.
Penulis adalah : Sefnat Momao, Wakil Ketua I DPD Partai Hanura Provinsi Papua Barat Daya, Pernah menjabat sebagai Anggota DPRK Maybrat Periode 2009-2014, Ketua Komisi A DPRK Maybrat Periode 2019-2024. Sekarang menjabat sebagai ketua bidang Humas, LPEC Provinsi Papua Barat Daya, Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Sarpukun Maisomara.
