AmbaritaNews.com | Kota Bekasi - Dugaan keterlibatan oknum pejabat Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I Non TPI Bekasi dalam jaringan perdagangan orang (human trafficking) mencuat ke permukaan. Modus yang digunakan terbilang rapi: memalsukan data akta otentik berupa tahun lahir pada dokumen paspor untuk memanipulasi usia calon pekerja migran.
Dalam dokumen yang diterima redaksi, seorang perempuan asal Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berinisial ARS, diduga menjadi korban manipulasi identitas. Berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), ARS tercatat lahir pada 5 Juni 1974. Namun dalam paspor yang diduga diterbitkan oleh Kanim Bekasi dengan masa berlaku 15 September 2025 hingga 15 September 2030, tahun lahirnya diubah menjadi 5 Juni 1979 — lima tahun lebih muda dari data asli.
Praktik ini diduga sengaja dilakukan untuk menyesuaikan usia calon pekerja migran dengan syarat administrasi negara tujuan, terutama di sektor domestik dan perawatan, di mana batas usia kerja menjadi salah satu pertimbangan utama dalam penerbitan visa.
Informasi yang dihimpun dari sumber internal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) menyebut, aksi pemalsuan tersebut diduga dilakukan oleh oknum pejabat di lingkungan Kanim Bekasi berinisial YA, dengan melibatkan seorang perantara berinisial H, alias Jangkung (JKG), yang dikenal sebagai pengelola biro jasa pengurusan dokumen keimigrasian.
“Mereka ini sudah lama bermain di jalur itu. Modusnya memotong umur biar lolos verifikasi negara tujuan kerja,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.
Ketika dikonfirmasi, pihak Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Bekasi belum memberikan keterangan resmi mengenai keterlibatan pegawainya dalam dugaan praktik ilegal ini.
“Nanti akan kita cek dulu kebenarannya, nanti kita undang lagi. Kita kroscek apa yang diminta itu,” ujar seorang staf Kanim Bekasi, Kamis kemarin (6/11/2025).
Pemalsuan tahun lahir dalam paspor menjadi salah satu modus klasik dalam perdagangan orang dan pemalsuan dokumen keimigrasian. Di banyak negara tujuan, batas usia kerja bagi tenaga migran berkisar antara 25–45 tahun. Perempuan yang sudah melewati usia tersebut kerap kesulitan mendapatkan visa kerja.
Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum dan jaringan sindikat. Dengan “memotong umur” di paspor, mereka dapat mengajukan visa kerja baru meski usia sebenarnya sudah melebihi syarat administratif.
“Paspor itu dokumen kewarganegaraan yang diakui di luar negeri. Jadi kalau diubah tahun lahirnya, otomatis usia di mata negara penerima tenaga kerja juga berubah,” jelas salah satu aktivis perlindungan pekerja migran di Sukabumi.
Tindakan pemalsuan tahun lahir pada dokumen negara seperti paspor, KTP, atau akta kelahiran merupakan tindak pidana serius. Jika terbukti, para pelaku, termasuk oknum pejabat yang membantu, dapat dijerat dengan pasal berlapis, antara lain:
1. Pasal 263 KUHP — Pemalsuan Surat Biasa, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun.
2. Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) — Pemalsuan data pribadi elektronik, dengan ancaman penjara maksimal 8 tahun atau denda hingga Rp2 miliar.
3. Pasal 95B UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) — Pemalsuan dokumen kependudukan, dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, apabila terbukti menjadi bagian dari perdagangan orang, para pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
Sejumlah pemerhati tenaga kerja dan lembaga masyarakat sipil mendesak Kementerian Hukum dan HAM, Ditjen Imigrasi, serta Bareskrim Polri untuk turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap prosedur penerbitan paspor di Kanim Bekasi.
“Kasus seperti ini tidak bisa ditangani setengah hati. Jika benar ada sindikat perdagangan orang yang melibatkan aparat negara, itu pengkhianatan terhadap amanah publik,” tegas seorang aktivis perlindungan pekerja migran di Cianjur.
Beberapa Pakar hukum pidana dan kebijakan publik Indonesia, menilai bahwa dugaan keterlibatan oknum Kantor Imigrasi Bekasi dalam praktik pemalsuan data paspor bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi indikasi adanya jaringan terstruktur dalam lingkaran perdagangan orang.
“Kalau sudah sampai pada tahap manipulasi data resmi negara, apalagi melibatkan pejabat di institusi publik, itu bukan lagi kesalahan individu. Ini harus dilihat sebagai bentuk kejahatan sistemik yang memanfaatkan celah birokrasi,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, pola pemalsuan tahun lahir dalam dokumen paspor mengindikasikan adanya kerja sama antara pihak biro jasa, calon pekerja migran, dan aparat di dalam lembaga.
“Pemalsuan semacam ini tidak mungkin lolos dari sistem verifikasi tanpa ada yang membuka jalan dari dalam. Itu sebabnya, investigasi internal saja tidak cukup. Harus ada audit digital forensik terhadap sistem data paspor dan verifikasi biometrik,” tambahnya.
Sementara itu, dari beberapa pengamat kebijakan migrasi menilai kasus ini mencoreng kredibilitas lembaga imigrasi yang selama ini menjadi garda depan pengawasan keluar-masuk warga negara.
“Kalau benar ada pejabat yang membantu memanipulasi usia demi kepentingan visa kerja, berarti negara turut serta dalam perdagangan manusia,” tegasnya
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap biro jasa ilegal yang kerap menjadi perantara dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
“Selama biro-biro seperti ini masih bebas beroperasi tanpa izin dan ada oknum aparat yang melindungi, kasus seperti ini akan terus berulang,” ujarnya.
Lebih lanjut, beberapa pakar tata kelola pemerintahan menegaskan perlunya reformasi sistem pengawasan internal di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, termasuk mekanisme pelaporan masyarakat yang terintegrasi.
“Harus ada sistem audit berbasis blockchain atau teknologi transparansi data untuk mencegah perubahan manual pada dokumen. Kalau masih mengandalkan sistem manual, akan selalu ada ruang untuk kolusi,” katanya.
Ia menambahkan, penegakan hukum yang tegas terhadap oknum aparat akan menjadi langkah penting dalam mengembalikan kepercayaan publik.
“Kasus ini tidak boleh berhenti di level staf atau perantara. Polanya harus diungkap sampai ke akar, siapa yang mendapatkan keuntungan dari setiap paspor yang dipalsukan,” pungkasnya
Masyarakat berharap agar kasus ini tidak berhenti di tahap klarifikasi internal, melainkan dilanjutkan ke proses hukum yang transparan. Dugaan keterlibatan aparat dalam memfasilitasi praktik perdagangan orang menjadi peringatan keras bahwa sindikat human trafficking kini menyusup hingga ke institusi negara. [Red]

