![]() |
pertama dari kiri: Luthfian Haekal | kedua dari kiri: Nabila Tauhida | ketiga dari kiri: Benni Hasbiyalloh | paling kanan: Yuli Adiratna, SH., M.hum |
AmbaritaNews.com | Jakarta - Sektor perikanan Indonesia terus menunjukkan peran strategis dalam mendorong ekonomi biru. Dalam kurun empat tahun terakhir, nilai ekspor produk perikanan meningkat dari USD 4,56 miliar pada 2021 menjadi USD 4,81 miliar pada periode Januari–Oktober 2024, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 1,8 persen per tahun.
Di balik pencapaian tersebut, terdapat kontribusi besar para pekerja di pabrik pengolahan hasil laut yang menjadi tulang punggung industri. Sejak 2023, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama sejumlah mitra menggagas program perlindungan pekerja perikanan di Jakarta, Bali, dan Sulawesi Utara.
Sebagai tindak lanjut, DFW Indonesia bersama Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) melakukan riset cepat mengenai kondisi pekerja pengolahan tuna sejak Mei 2025. Hasil riset dipaparkan melalui diskusi di Bitung, Benoa, dan Jakarta Utara guna menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
“Riset ini merupakan bentuk komitmen kami dalam memperkuat perlindungan pekerja perikanan, khususnya di sektor pengolahan hasil laut,” ujar Program Director DFW Indonesia, Imam Trihatmadja.
Human Rights Officer DFW Indonesia, Nabila Tauhida, menyoroti pola kerja fleksibel para pekerja pengolahan tuna yang kerap berpindah antar-pabrik. Fleksibilitas ini erat kaitannya dengan kontrak jangka pendek berbasis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), mulai dari tiga bulan hingga satu tahun, sesuai pola produksi berbasis pesanan (pre-order).
Namun, sistem kontrak tersebut membuat pekerja berada dalam posisi rentan. Salah satu contoh terjadi pada awal 2025, ketika sebuah perusahaan merumahkan 60 persen pekerjanya akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat. “Bahkan, ada pekerja yang kontraknya terus diperpanjang setiap tiga bulan selama enam tahun,” ungkap Nabila, Jumat (19/9/2025).
Ia menambahkan, pekerja kerap mengesampingkan isu upah dan keselamatan kerja karena lebih cemas terhadap kepastian kontrak. “Bahkan stok ikan yang menurun pun dianggap ancaman, sebab hal itu langsung memengaruhi keberlanjutan kontrak mereka,” katanya.
Menanggapi temuan ini, Sekretaris Ditjen PDSPKP, Machmud, menegaskan komitmen pemerintah meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui program pelatihan dan bimbingan teknis. “Tenaga kerja adalah tumpuan produktivitas dan kualitas produk. Kami siap berkolaborasi untuk memperkuat daya saing sektor perikanan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Bina Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Ditjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan, Yuli Adiratna, mengingatkan bahwa UU Cipta Kerja telah menetapkan batas masa PKWT maksimal lima tahun. “Setelah itu, pekerja harus diangkat sebagai karyawan tetap,” tegasnya.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Hasbiyalloh, menilai ketidakpastian kerja yang dialami pekerja pengolahan hasil laut merupakan strategi efisiensi dari pihak pengusaha. Ia menekankan perlunya riset lanjutan untuk menelaah proses produksi. “Perlu diperdalam apakah tuna merupakan komoditas musiman atau tidak, serta bagaimana proses loin dan pengalengan memengaruhi pola perekrutan pekerja. Hal ini penting karena berkaitan langsung dengan relasi kerja,” pungkas Benni. [Diori Parulian Ambarita]