
Proyek pengaman garis pantai (breakwater) di Desa Banding dan Desa Canti, Kecamatan Rajabasa
AmbaritaNews.com | Kabupaten Lampung Selatan — Proyek pengaman garis pantai (breakwater) di Desa Banding dan Desa Canti, Kecamatan Rajabasa, yang dikerjakan PT Fata Perdana Mandiri kian menuai sorotan tajam. Proyek senilai Rp27.073.792.190 itu disinyalir menggunakan batu bolder bermasalah serta melibatkan suplier tanpa izin yang jelas.
PT Fata Perdana Mandiri sebelumnya mengklaim progres proyek telah mencapai 22 persen sejak dimulai 20 Agustus hingga Oktober 2025. Namun klaim tersebut dinilai janggal. Pasalnya, suplier resmi batu bolder yang ditunjuk proyek, PT Hajar Nusantara Abadi (HANA), hingga awal Oktober masih berkutat mengurus perizinan eksplorasi batu sehingga belum dapat mengirimkan material sama sekali.
Hasil penelusuran lapangan mengarah pada PT Rajabasa Kedaton Makmur 1 (RKM 1) sebagai pemasok batu bolder. Masalahnya, RKM 1 bukan suplier resmi bahkan disebut tak lagi aktif setelah Direktur Utamanya, Jarwo, meninggal dunia. Situasi semakin kusut ketika muncul kabar bahwa PT RKM 2—perusahaan lain yang berbeda—diduga memiliki izin lengkap, namun hanya untuk memproduksi batu split, bukan batu bolder.
Dugaan permainan pun muncul: izin PT RKM 2 disinyalir dipakai oleh PT RKM 1 untuk mengirim batu bolder. Jika benar, ini mengarah pada manipulasi dokumen dan potensi pelanggaran izin pertambangan.
Batu di lokasi proyek juga diduga tak sesuai spesifikasi. Temuan lapangan menyebutkan batu bolder berukuran kecil, jauh dari standar teknis breakwater. Bahkan pasir campuran untuk pembuatan buis beton diduga bercampur tanah, sehingga berpotensi menurunkan kualitas konstruksi.
Humas proyek, Saripudin, menegaskan bahwa material batu berasal dari masyarakat sekitar.
“Pengerjaan proyek baru berjalan sejak satu bulan terakhir,” ujarnya.
Namun pernyataan itu berseberangan dengan General Manager PT Fata Perdana Mandiri, Guruh. Ia mengakui secara tersirat adanya suplai batu dari PT RKM.
“Sedikit, sudah beres (suplai batu dari, red) PT RKM 2,” jawabnya.
Guruh kemudian menegaskan bahwa suplier resmi tetap PT HANA milik Decky Eko Saputra.
“PT HANA itu milik Decky yang di Canti, dekat lokasi kerja. Kalau di Batu Balak itu RKM,” katanya.
Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung (BBWS-MS), Ditjen SDA Kementerian PUPR, serta konsultan pengawas PT Gunung Giri Engineering Consultant KSO PT Duta Bhuana Jaya KSO CV Intishar Karya didesak segera turun tangan. Dugaan penggunaan batu ilegal, spesifikasi tidak sesuai, hingga potensi manipulasi izin tambang harus diusut tuntas.
Proyek berstatus APBN senilai lebih dari Rp27 miliar ini tidak hanya menyangkut pembangunan fisik, tetapi integritas pengelolaan anggaran negara dan keselamatan masyarakat pesisir Rajabasa. Masyarakat menunggu jawaban dan langkah tegas sebelum masalah ini menimbulkan dampak lebih besar. [Diori Parulian Ambarita & Ansori & Juhardi]